hananurlaili@yahoo.com

Tuesday, September 1, 2015

Mazhab Ekonomi Islam

Tuesday, September 01, 2015

Share it Please

BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Dalam sejarah pemikiran ekonomi, kehadiran aliran atau mazhab ekonomi biasanya bertujuan mengkritik, mengevaluasi atau mengoreksi aliran-aliran ekonomi sebelumnya yang dinilai tidak mampu menyelesaikan persoalan-persoalan ekonomi. Dalam ekonomi konvensional (umum), kita mengenal aliran ekonomi klasik, neoklasik, marxis, historis, institusional, moneteris, dan lain sebagainya. Ilmu ekonomi Islam pun tidak luput dari aliran atau mazhab-mazhab ekonomi.
Ketika menjelaskan hakikat ekonomi Islam, maka akan tampak beberapa sudut pandang tentang ekonomi Islam. Terlepas adanya beberapa perbedaan tersebut, semua mazhab yang ada menyepakati bahwa ekonomi Islam selalu mengedepankan kemaslahatan di dalam segala aktivitasnya. Sampai saat ini, pemikiran ekonom-ekonom Muslim kontemporer dapat kita klasifikasikan setidaknya menjadi tiga mazhab, yakni:
·           Mazhab Iqtishaduna
·           Mazhab Mainstream; dan
·           Mazhab Alternatif-Kritis
B.       Rumusan Masalah
1.         Bagaimana pandangan ekonomi Islam dalam Mazhab Iqtishaduna?
Ø  Bagaimana latar belakang tokoh dalam Mazhab Iqtishaduna?
2.         Bagaimana pandangan ekonomi Islam dalam Mazhab Mainstream?
Ø  Bagaimana latar belakang tokoh dalam Mazhab Mainstream?
3.         Bagaimana pandangan ekonomi Islam dalam Mazhab Alternatif-Kritis?
Ø  Bagaimana latar belakang tokoh dalam Mazhab Alternatif-Kritis?



BAB II
PEMBAHASAN
A.      Mazhab Iqtishaduna
Iqtishad bukan hanya sekedar terjemahan dari ekonomi. Iqtishad berasal dari kata bahasa arab qashd, yang secara harfiah berarti “ekuilibrium” atau “keadaan sama, seimbang, atau pertengahan”. Sejalan dengan itu, maka semua teori yang dikembangkan oleh ilmu ekonomi konvensional ditolak dan dibuang. Sebagai gantinya, mazhab ini berusaha untuk menyusun teori-teori baru yang langsung digali dan dideduksi dari Al-Qur’an dan Sunnah.[1]
Mazhab ini dipelopori oleh Baqir As-Sadr dengan bukunya yang fenomenal: Iqtishaduna (ekonomi kita). Mazhab ini berpendapat bahwa ilmu ekonomi (economics) tidak pernah bisa sejalan dengan Islam. Ekonomi tetap ekonomi, dan  Islam tetap Islam. Keduanya tidak akan pernah dapat disatukan karena keduanya berasal dari filosofi yang saling kontradiktif. Yang satu anti-Islam, yang lainnya Islam.[2]
Menurut pemikiran As-Sadr bahwa dalam mempelajari ilmu ekonomi harus dilihat dari dua aspek, yaitu aspek philosophy of economics atau normative economics dan aspek positive economics. Contoh dari aspek positive economics, yaitu mempelajari teori konsumsi dan permintaan yang merupakan suatu fenomena umum dan dapat diterima oleh siapa pun tanpa dipengaruhi oleh ideologi. Dalam teori konsumsi dirumuskan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi suatu barang adalah tingkat pendapatan, tingkat harga, selera, dan faktor-faktor non-ekonomi lainnya. Berdasarkan hukum permintaan (law of demand) bahwa ada korelasi yang negatif antara besarnya tingkat harga barang dengan jumlah barang yang diminta asumsi cateris paribus. Jika harga barang naik jumlah barang yang diminta akan turun dan sebaliknya. Fakta ini terjadi pada konteks ekonomi dimana pun dan oleh siapa pun tanpa melihat latar belakang sosial, budaya, agama, politik, dan sebagainya.
Adapun dari aspek phylosophy of economics yang merupakan hasil pemikiran manusia, maka akan dijumpai bahwa tiap kelompok manusia mempunyai ideologi, cara pandang dan kebiasaan (habit) yang tidak sama. Persoalan kepantasan antara satu anggota masyarakat dengan anggota lainnya atau antara satu golongan masyarakat dengan golongan lainnya masing-masing memiliki batasan atau definisi sendiri. Makan sambil berdiri dan menggunakan tangan kiri merupakan hal yang pantas dan biasa di masyarakat Eropa, namun lain halnya pada masyarakat di Indonesia. Dalam pandangan  Islam bahwa sesuatu diaggap ‘pantas’ manakala hal itu dianjurkan dalam Islam dan sesuatu dianggap ‘tidak pantas’ jika hal itu dicela dan dilarang menurut syariah.
Ada kesenjangan  secara terminologis antara pengertian ekonomi dalam perspektif ekonomi konvensional dengan pengertian ekonomi dalam perspektif syariah Islam sehingga perlu dirumuskan ekonomi Islam dalam konteks syariaah Islam. Pandangan ini didasarkan pada pengertian dari Ilmu ekonomi yang menyatakan bahwa masalah ekonomi timbul karena adanya masalah kelangkaan sumber daya ekonomi (scarcity) dibandingkan dengan kebutuhan manusia yang sifatnya tidak terbatas. Dalam hal ini Mazhab Baqir As-Sadr menolak pengertian tersebut sebab dalam Islam telah ditegaskan bahwa Allah SWT telah menciptakan makhluk di dunia ini termasuk manusia dalam kecukupan sumber daya ekonomi sebagaimana ditegaskan melalui firman-Nya dalam Surah Al-Furqan (25) ayat 2:
الَّذِي لَهُ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَلَمْ يَتَّخِذْ وَلَدًا وَلَمْ يَكُن لَّهُ شَرِيكٌ فِي الْمُلْكِ وَخَلَقَ كُلَّ
شَيْءٍ فَقَدَّرَهُ تَقْدِيرًا
“Kepunyaan-Nya-lah kerajaan langit dan bumi, dan dia tidak mempunyai anak, dan tidak ada sekutu baginya dalam kekuasaan(Nya), dan Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya.”[3]
Selain itu, menurut mereka perbedaan filosofi akan berdampak pada perbedaan cara pandang keduanya dalam melihat masalah ekonomi. Menurut ilmu ekonomi, masalah ekonomi muncul karena adanya keinginan manusia yang tidak terbatas sementara sumber daya yang tersedia untuk memuaskan keinginan manusia tersebut jumlahnya terbatas. Mazhab Baqir menolak pernyataan ini, karena menurut mereka, Islam tidak mengenal adanya sumber daya yang terbatas. Dalil yang dipakai adalah Al-Qur’an surat Al-Qamar ayat 49:
إِنَّا كُلَّ شَيْءٍ خَلَقْنَاهُ بِقَدَرٍ
“Sungguh telah Kami ciptakan segala sesuatu dalam ukuran yang setepat-tepatnya.”
Dengan demikian, karena segala sesuatunya sudah terukur dengan sempurna, sebenarnya Allah telah memberikan sumber daya yang cukup bagi seluruh manusia di dunia.
Pendapat bahwa keinginan manusia itu tidak terbatas juga ditolak. Contoh: Manusia akan berhenti minum jika dahaganya sudah terpuaskan. Oleh karena itu, mazhab ini berkesimpulan bahwa keinginan yang tidak terbatas itu tidak benar sebab pada kenyataannya keinginan manusia itu terbatas. (Bandingkan pendapat ini dengan teori Marginal Utility, Law of Diminishing Returns, dan Hukum Gossen dalam ilmu ekonomi).
Mazhab Baqir berpendapat bahwa masalah ekonomi muncul karena adanya distribusi yang tidak merata dan adil sebagai akibat sistem ekonomi yang membolehkan eksploitasi pihak yang kuat terhadap pihak yang lemah. Yang kuat memiliki akses terhadap sumber daya sehingga menjadi sangat kaya, sementara yang lemah tidak memiliki akses terhadap sumber daya sehingga menjadi sangat miskin. Karena itu masalah ekonomi muncul bukan karena sumber daya yang terbatas, tetapi karena keserakahan manusia yang tidak terbatas.
Oleh karena itu, menurut mereka, istilah ekonomi Islami adalah istilah yang bukan hanya tidak sesuai dan salah, tetapi juga menyesatkan dan kontradiktif, karena itu penggunaan istilah ekonomi Islami harus dihentikan. Sebagai gantinya, ditawarkan istilah baru yang berasal dari filosofi Islam, yakni Iqtishad.[4]
Latar Belakang Tokoh (Muhammad Baqir As-Sadr):
Asy-Syahid Muhammad Baqir As-Sadr dilahirkan di Kadhimiyeh, Baghdad pada 1935. Sebagai keturunan dari sebuah keluarga sarjana dan intelektual Islam Syi’ah ang termasyur, wajar saja Sadr mengikuti langkah kaki mereka. Ia memilih untuk menuntut pengajaran Islam tradisional di hauzah atau sekolah tradisional di Iraq, dan disitu ia belajar fiqh, ushul, dan teologi. Ia amat menonjol dalam prestasi intelektualnya, sehingga pada umur 20 tahun telah memperoleh derajat mujtahid mutlaq, dan selanjutnya meningkat lagi ke tingka otoritas tertinggi marja (otoritas pembeda). Otoritas intelektual dan spiritual di dalam tradisi Islam tersebut juga terwujud di dalam tulisan-tulisan Sadr, dan di dalam karyanya Iqtishaduna (Ekonomi Kita) ia menunjukkan metodologi ‘pernyataan tegas yang independen, tetapi memenuhi syarat’.
Sekalipun memiliki latar belakang tradisional, Sadr tidak pernah terpisah dari isu-isu kontemporer. Minat intelektualnya yang tajam mendorongnya untuk secara kritis mempelajari filsafat kontemporer, ekonomi, sosiologi, sejarah, dan hukum. Seperti Taleghani, ia adalah seorang ‘alim yang aktif’. Secara terus-menerus ia menyuarakan pandangan-pandangannya mengenai kondisi kaum Muslimin dan membicarakan keinginan untuk merdeka, tidak saja kekangan politik, namun juga dari ‘pemikiran dan gagasan’. Kondisi di Iraq mendorongnya untuk mendirikan Hizb ad-Da’wah al-Islamiyah (Partai Dakwah Islam), yakni sebuah partai yang menyatukan para pimpinan agama dan kaum muda, yang terutama sekali dimaksudkan untuk melawan gelombang sosialisme Ba’ats yang mengambil kekuasaan politik pada 1958. Karyanya Falsafatuna (Filsafat Kita) dan kemudian Iqtishaduna, memberikan suatu kritik komparatif terhadap kapitalisme maupun sosialisme, dan pada saaat yang sama menggambarkan pandangan-dunia (worldview) Islam bersama dengan garis-garis besar sistem ekonomi Islam.[5]
B.       Mazhab Mainstream
Mazhab kedua ini berbeda pendapat dengan mazhab pertama. Mazhab yang lebih dikenal dengan mazhab mainstream ini justru setuju bahwa masalah ekonomi muncul karena sumber daya yang terbatas yang dihadapkan pada keinginan manusia yang tidak terbatas.[6]
Memang benar misalnya, bahwa total permintaan dan penawaran beras di seluruh dunia berada pada titik ekuilibrium. Namun, jika kita berbicara pada tempat dan waktu tertentu, maka sangat mungkin terjadi kelangkaan sumber daya. Bahkan ini yang sering kali terjadi. Suplai beras di Ethiopia dan Bangladesh misalnya tentu lebih langka dibandingkan di Thailand. Jadi keterbatasan sumber daya memang ada, bahkan diakui pula oleh Islam. Dalil yang dipakai adalah Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 155:
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِّنَ الْخَوفْ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِّنَ الأَمَوَالِ وَالأنفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ
“Dan sungguh akan Kami uji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira bagi orang-orang yang sabar.”
Sedangkan keinginan manusia yang tidak terbatas dianggap sebagai hal yang alamiah. Dalil yang dipakai adalah Al-Qur’an surat At-Takatsur ayat 1-5:
أَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ (1) حَتَّى زُرْتُمُ الْمَقَابِرَ (2) كَلَّا سَوْفَ تَعْلَمُونَ (3) ثُمَّ كَلَّا سَوْفَ تَعْلَمُونَ (4)
كَلَّا لَوْ تَعْلَمُونَ عِلْمَ الْيَقِينِ (5)
“Bermegah-megahan telah melalaikan kamu. Sampai kamu masuk ke liang kubur. Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu).”
Dan sabda Nabi Muhammad SAW. bahwa manusia tidak akan pernah puas. Bila diberikan emas satu lembah, ia akan meminta emas dua lembah. Bila diberikan dua lembah, ia akan meminta tiga lembah dan seterusnya sampai ia masuk kubur.
Dengan demikian, pandangan mazhab ini tentang masalah ekonomi hampir tidak ada bedanya dengan pandangan ekonomi konvensional. Kelangkaan sumber dayalah yang menjadi penyebab munculnya masalah ekonomi.[7]
Perbedaan mazhab ini dengan ekonomi konvensional adalah dalam penyelesaian masalah ekonomi tersebut. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa masalah kelangkaan ini menyebabkan manusia harus melakukan pilihan. Dalam ekonomi konvensional, pilihan dan penentuan skala prioritas dilakukan berdasarkan selera pribadi masing-masing tidak peduli apakah itu bertentangan dengan norma serta nilai agama ataukah tidak. Dengan kata lain pilihan dilakukan berdasarkan tuntutan nafsu semata (Homo economicus). Sedangkan dalam ekonomi Islam, penentuan pilihan tidak bisa seenaknya saja, sebab semua sendi kehidupan kita telah diatur oleh Al-Qur’an dan Sunnah. Sebagai manusia ekonomi Islam (Homo islamicus) harus selalu patuh pada aturan-aturan syariah yang ada.[8]
Sesuai dengan namanya, maka mazhab pemikiran ekonomi Islam ini mendominasi khasanah pemikiran ekonomi Islam di seluruh dunia. Meluasnya mazhab ini dipengaruhi oleh beberapa hal, yaitu:
1.         Secara umum pemikiran mereka relatif lebih moderat jika dibandingkan dengan mazhab lainnya sehingga lebih mudah diterima masyarakat.
2.         Ide-ide mereka banyak ditampilkan dengan cara-cara ekonomi konvensional, misalnya menggunakan economic modeling dan quantitative methods sehingga mudah dipahami oleh masyarakat luas. Sebenarnya hal ini tidak mengherankan, sebab para pendukung mazhab ini kebanyakan memiliki latar belakang pendidikan ekonomi konvensional, di samping penguasaan ilmu keislaman yang memadai. Banyak diantara mereka telah menempuh pendidikan dengan jenjang tinggi dan tetap beraktivitas ilmiah di negara-negara Barat, misalnya Umar Chapra, Muhammad Nejatullah Siddiqi, dan Muhammad Abdul Mannan.
3.         Kebanyakan tokoh merupakan staf, peneliti, penasehat, atau setidaknya memiliki jaringan erat dengan lembaga-lembaga regional dan internasional yang telah mapan seperti Islamic Development Bank (IDB), International Institute of Islamic thought (III T), Islamic research and Training Institute (IRTI), dan Islamic Foundation pada beberapa universitas maju. Lembaga-lembaga ini memiliki jaringan kerja yang luas didukung dengan pendanaan yang memadai, sehingga dapat mensosialisasikan gagasan ekonomi Islam dengan lebih baik. Bahkan, gagasan ekonomi Islam diimplementasikan dalam kebijakan ekonomi yang nyata, sebagaimana yang dilakukan oleh IDB dalam membantu pembangunan di negara-negara muslim.[9]
Tokoh-tokoh mazhab ini antara lain adalah Umer Chapra, Metwally, MA Mannan, MN Siddiqi, dan lain-lain. Mayoritas mereka adalah pakar ekonomi yang belajar serta mengajar di universitas-universitas Barat, dan sebagian besar diantara mereka adalah ekonom Islamic Development Bank (IDB). Mazhab ini tidak pernah membuang sekaligus teori-teori ekonomi konvensional ke keranjang sampah. Salah seorang tokoh mazhab ini Umer Chapra mengatakan bahwa usaha pengembangan ekonomi Islam bukan berarti memusnahkan semua hasil analisis yang baik dan sangat berharga yang telah dicapai oleh para ekonom konvensional. Yang bermanfaat diambil, yang tidak bermanfaat dibuang, sehingga terjadi suatu proses transformasi keilmuan tang diterangi dan dipandu oleh prinsip-prinsip syariah Islam. Keilmuan yang saat ini berkembang di dunia Barat pada dasarnya merupakan pengembangan keilmuan yang dikembangkan oleh para ilmuan muslim pada era dark ages, sehingga bukan tak mungkin ilmu yang berkembang sekarang pun masih ada beberapa yang sarat nilai karena merupakan pengembangan dari pemikiran ilmuan muslim terdahulu.[10]
Mengambil hal-hal yang baik dan bermanfaat yang dihasilkan dari bangsa dan budaya non-Islam sama sekali tidaklah diharamkan. Nabi bersabda bahwa hikmah/ilmu itu bagi umat Islam ibarat barang yang hilang. Dimana saja ditemukan, maka umat Muslimlah yang paling berhak mengambilnya. Catatan sejarah umat Muslim memperkuat hal ini. Para ulama dan ilmuan Muslim banyak meminjam ilmu dari peradaban lain, seperti Yunani, India, Persia, dan China yang bermanfaat diambil dan yang tidak bermanfaat dibuang, sehingga transformasi ilmu dengan diterangi cahaya Islam.[11]
Latar Belakang Tokoh (M. Umer Chapra):
Umar Chapra dilahirkan pada tanggal 1 januari 1933 yang bertempat di Pakistan. Ayahnya bernama Abdul Karim Chapra. Ia terlahir dengan penuh keberuntungan karena keluarganya adalah keluarga yang taat beragama, sehingga dalam dirinya tertanam dan tumbuh menjadi orang yang berkepribadian baik. Ia juga memiliki peluang yang besar untuk menjadi orang yang cendekia melalui pendidikan yang tinggi karena keluarganya termasuk orang yang memiliki kecukupan harta, baginya tidak ada alas an untuk menempuh semua itu. Sejak kecil ia menghabiskan umurnya di tanah kelahiran hingga mencapai umur 15 tahun. Setelah itu ia berpindah tempat ke Karachi dengan alasan untuk melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi hingga akhirnya ia mendapatkan gelar Ph.D dari Universitas Minnesota. Mencapai umur 29 tahun ia mengakhiri masa lajangnya dengan keputusan menikah dengan salah seorang wanita bernama Khoirunnisa Jamal Mundia pada tahun 1962.
Awal mula karirnya nampak ketika ia mengikuti ujian masuk ke Universitas Sind pada tahun 1950 dan mendapatkan prestasi dengan simbol pemberian medali emas karena berhasil menduduki urutan pertama dari 25.000 mahasiswa yang daftar. Pendidikannya terus berlanjut dengan meraih gelar S2 di Universitas karachio pada tahun 1954 dan 1956, dan melangsungkan karir akademisnya yang tertinggi yaitu ketika meraih gelar doctoral di Minnesota minepolis. Dalam pendidikannya ia dibimbing oleh Prof.
Kedudukan beliau sangat potensial di berbagai lembaga-lembaga yang ada seperti: beliau menjadi sebagai penasehat pada Islamic Research and Training Institute (IRTI) dari Islamic Development Bank (IDB) Jeddah, sebelum menduduki posisi di Saudi Arabian Monetery Agency (SAMA) Riyadh menjadi penasehat penelitian senior selama hamper 35 tahun. Selain itu juga beliau dalam karirnya kurang lebih 45 tahun menduduki profesi di berbagai lembaga yang berhubungan dengan permasalahn ekonomi diantaranya yaitu:
1.         Selama dua tahun di Pakistan
2.         Enam tahun di USA
3.         Dan tiga puluh tujuh tahun di Arab Saudi.
Di luar dari profesinya ada juga kegiatan-kegiatan internasional dan regional yang beliau ikuti yang diselenggarakan oleh IMF, IBRD, OPEC, OIC, GCC, dan IDB. Dalam bidang jurnalistik beliau aktif sebagai dewan pengurus redaksi di berbagai jurnal, termasuk Economic Jurnal of the Royal Economic Society, U.K. disamping aktif dalam bidang ekonomi Umar Cahpra juga aktif dalam memberikan ceramah secara teratur dalam penyampaian al-Qur`an, hadits, dan fiqih. 
Dengan ide-ide cemerlangnya beliau sangat berperan dalam perkembangan ekonomi Islam yang dituangkan dalam banyak karangannya. Dengan pengabdiannya beliau mendapatkan penghargaan dari Islamic Development Bank Award dalam ekonomi Islam dan dari King Faisal International Price (KFIP) dalam kajian Islam yang didapat pada tahun 1990. Kemudian pada tahun 1995, beliau mendapatkan medali emas dari Institute of Overseas Pakistanis (IOP) yang langsung diserahkan oleh Presiden Pakistan dalam konferensi pertama IOP di Islamabad.[12]
C.      Mazhab Alternatif-Kritis
Pelopor mazhab ini adalah Timur Kuran (Ketua Jurusan Ekonomi di University of Southern California), Jomo (Yale, Cambridge, Harvard, Malaya), Muhammad Arif, dan lain-lain. Mazhab ini mengkritik kedua mazhab sebelumnya. Mazhab Baqir dikritik sebagai mazhab yang berusaha untuk menemukan sesuatu yang baru yang sebenarnya sudah ditemukan oleh orang lain. Menghancurkan teori lama, kemudian menggantinya dengan teori baru. Sementara itu, mazhab mainstream dikritiknya sebagai jiplakan dari ekonomi neoklasik dengan menghilangkan variabel riba dan memasukkan variabel zakat serta niat.
Mazhab ini adalah sebuah mazhab yang kritis. Mereka berpendapat bahwa analisis kritis bukan saja harus dilakukan terhadap sosialisme dan kapitalisme, tetapi juga terhadap ekonomi Islam itu sendiri. Mereka yakin bahwa Islam pasti benar, tetapi ekonomi Islami belum tentu benar karena ekonomi Islami adalah hasil tafsiran manusia atas Al-Qur’an dan Sunnah, sehingga nilai kebenarannya tidak mutlak. Proposisi dan teori yang diajukan oleh ekonomi Islami harus selalu diuji kebenarannya sebagaimana yang dilakukan terhadap ekonomi konvensional.[13]
Pemikiran tentang ekonomi Islam saat ini telah berkembang pesat, sejalan dengan upaya untuk implementasinya. Zarqa (1992) telah mengklasifikasikan kontribusi pemikiran ekonomi Islam yang berkembang saat ini ke dalam 4 kategori, yaitu:
1.         Pertama, mereka banyak menyumbang pemikiran dalam aspek normatif sistem ekonomi Islam, menemuka prinsip-prinsip baru dalam sistem tersebut, atau menjawab pertanyaan-pertanyaan modern mengenai sistem tersebut. Termasuk dalam kategori ini yaitu para ahli syari’ah (fuqaha / juruts).
2.         Kedua, penemuan asumsi-asumsi dan pernyataan-pernyataan positif dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah yang relevan bagi ilmu ekonomi. Contoh kategori ini yaitu konsepsi ekonomi Islam mengenai pasar (yang diderivasi dari konsep syari’ah), mengajukan asumsi adanya ketimpangan informasi antara pembeli dan penjual. Konsep ini berbeda dengan model pasar persaingan sempurna dalam ekonomi konvensional (klasik) yang secara eksplisit mengasumsikan semua pelaku pasar memiliki informasi yang sempurna, yaitu benar dan lengkap, yang tersedia secara bebas. Karya Munawar Iqbal (1992) mengenai organisasi produksi dan teori perilaku perusahaan dalam perspektif Islam merupakan contoh kategori ini.
3.         Ketiga, terdapatnya pernyataan ekonomi positif yang dibuat oleh para pemikir ekonomi Islam, seperti banyak terdapat dalam karya Ibnu Khaldun. Ibnu Khaldun telah menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi jangka panjang dan menurunnya masyarakat dalam bukunya muqadimah. Contoh lainnya adalah karya al-Maqrizi mengenai penyebab dan dampak inflasi terhadap perekonomian.
4.         Keempat, analisis ekonomi dalam bagian sistem ekonomi Islam dan analisis konsekuensi pernyataan positif ekonomi Islam mengenai kehidupan ekonomi. Kontributor utama kategori ini antara lain para ahli ekonomi konvensional yang sekaligus menguasai ilmu syari’ah, dan umumnya mereka banyak menggunakan perangkat analisis sebagaimana dalam ekonomi konvensional. Bahkan pada akhir-akhir ini terdapat banyak ahli ekonomi non Muslim yang mengkaji secara serius ekonomi Islam, misalnya Badal Mukerji dalam karyanya A Micro model of the Islamic Tax System.
Sementara itu mazhab alternatif yang dimotori oleh Prof. Timur Kuran (Ketua Jurusan Ekonomi di University of Southern California), Prof. Jomo dan Muhammad Arif, memandang pemikiran mazhab Baqir Sadr berusaha menggali dan menemukan paradigma ekonomi Islam yang baru dengan meninggalkan paradigma ekonomi konvensional, tapi banyak kelemahannya, sedangkan mazhab mainstream merupakan wajah baru dari pandangan Neo-Klasik dengan menghilangkan unsur bunga dan menambahkan zakat. Selanjutnya mazhab ini menawarkan suatu kontribusi dengan memberikan analisis kritis tentang ilmu ekonomi bukan hanya pada pandangan kapitalisme dan sosialisme (yang merupakan representasi wajah ekonomi konvensional), melainkan juga melakukan kritik terhadap perkembangan wacana ekonomi Islam.[14]
Latar Belakang Tokoh (Timur Kuran):
Timur Kuran lahir pada tahun 1954 di New York, Timur Kuran menghabiskan masa kecilnya di Ankara. Ayahnya mengajar di Universitas Teknis di Timur Tengah. Ketika ia masih remaja, keluarganya pindah ke Istanbul. Ia tinggal tidak jauh dari kampus Universitas Bogasici, dimana ayahnya adalah seorang profesor sejarah arsitektur Islam.
Timur kuran memperoleh pendidikan menengah di turki, lulus di Universitas Robert di Istanbul pada tahun 1973, kemudian dia belajar ekonomi di Princeton University, sampai akhirnya ia di wisuda dengan prestasi sebagai mahasiswa terbaik di angkatannya pada tahun 1977. Lalu ia melanjutkan belajarnya di Stanford Univercity untuk memperoleh gelar doctor di bidang ekonomi. Timur kuran telah banyak menulis tentang evolusi preferensi dan lembaga, dengan kontribusi untuk mempelajari preferensi tersembunyi, ketidakpastian revolusi sosial, dinamika konflik etnis, persepsi diskriminasi, kebohongan publik. Kuran juga menulis tentang Islam dan Timur Tengah. Dengan fokus awal pada kontemporer untuk merestrukturisasi ekonomi menurut ajaran Islam. Beberapa esainya tentang topik ini termasuk dalam Islam dan mammon: The Predicaments Ekonomi Islamisme (Priceton University Press) yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Turki dan Arab. Sejak pertengahan 1990-an ia telah mengalihkan perhatiannya untuk teka-teki  Timur Tengah, yang pernah memiliki standar hidup yang tinggi dengan standar global, kemudian tertinggal di berbagai bidang, termasuk produksi ekonomi, kemampuan organisasi, kreativitas dengan standar global, kreativitas teknologi, demokratisasi, dan kekuatan militer. Dari 1990-2008 Timur Kuran menjabat sebagai editor dari seri buku interdisipliner diterbitkan oleh University of Michigan Press. Seri ini didirikan kembali di Cambridge University Press pada tahun 2009 dengan judul Cambridge Studi Ekonomi, Kognisi dan Masyarakat. Dia mengajar di University of Southern California antara tahun 1982 dan 2007, di mana ia memegang Raja Faisal guru dalam pemikiran Islam dan budaya dari 1993 dan seterusnya. Dari tahun 2005 sampai 2007, dia adalah Direktur USC Lembaga Penelitian Ekonomi pada Peradaban, yang didirikannya. Pada 1989-1990 ia menjadi anggota Institute for Advanced Study di Princeton, tahun 1996-97 ia memegang John Olin mengunjungi guru di Graduate School of Business, University of Chicago, saat ini ia adalah anggota komite eksekutif asosiasi ekonomi internasional.[15]


BAB III
PENUTUP
A.      Kesimpulan
Mazhab iqtishaduna dipelopori oleh Baqir As-Sadr dengan bukunya yang fenomenal: Iqtishaduna (ekonomi kita). Mazhab ini berpendapat bahwa ilmu ekonomi (economics) tidak pernah bisa sejalan dengan Islam. Ekonomi tetap ekonomi, dan  Islam tetap Islam. Keduanya tidak akan pernah dapat disatukan karena keduanya berasal dari filosofi yang saling kontradiktif. Yang satu anti-Islam, yang lainnya Islam.
Mazhab mainstream berbeda pendapat dengan mazhab pertama. Mazhab yang lebih dikenal dengan mazhab mainstream ini justru setuju bahwa masalah ekonomi muncul karena sumber daya yang terbatas yang dihadapkan pada keinginan manusia yang tidak terbatas. Tokoh-tokoh mazhab ini antara lain adalah Umer Chapra, Metwally, MA Mannan, MN Siddiqi, dan lain-lain. Mayoritas mereka adalah pakar ekonomi yang belajar serta mengajar di universitas-universitas Barat, dan sebagian besar diantara mereka adalah ekonom Islamic Development Bank (IDB).
Sementara itu mazhab alternatif yang dimotori oleh Prof. Timur Kuran (Ketua Jurusan Ekonomi di University of Southern California), Prof. Jomo dan Muhammad Arif, memandang pemikiran mazhab Baqir Sadr berusaha menggali dan menemukan paradigma ekonomi Islam yang baru dengan meninggalkan paradigma ekonomi konvensional, tapi banyak kelemahannya, sedangkan mazhab mainstream merupakan wajah baru dari pandangan Neo-Klasik dengan menghilangkan unsur bunga dan menambahkan zakat.

DAFTAR PUSTAKA
Al-Arif, M. Nur Rianto. Dasar-Dasar Ekonomi Islam. Solo: Era Adicitra Intermedia, 2011.
Chamid, Nur. Jejak Langkah Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.
Chapra, M. Umer, Islam dan Pembangunan Ekonomi. Jakarta: Gema Insani Press, 2000.
Fauzia, Ika Yunia dan Abdul Kadir Riyadi. Prinsip Dasar Ekonomi Islam Perspektif Maqashid Al-Syari’ah. Jakarta: Kencana, 2014.
Haneef, Mohammad Aslam. Pemikiran Ekonomi Islam Kontemporer. Jakarta: Rajawali Press, 2010.
Karim, Adiwarman A. Ekonomi Mikro Islami. Jakarta: Rajawali Pers, 2012.
Rivai, Veithzal dan Andi Buchari. Islamic Economics: Ekonomi Syariah Bukan Opsi, Tetapi Solusi!. Jakarta: Bumi Aksara, 2009.
Salim, Ahmad. “Pemikiran Ekonomi Islam Masa Timur Kuran”. 2013, (http://newskripsi.blogspot.com, diakses tanggal 13 Maret 2015).


[1] Ika Yunia Fauzia dan Abdul Kadir Riyadi, Prinsip Dasar Ekonomi Islam Perspektif Maqashid Al-Syari’ah (Jakarta: Kencana, 2014), 37.
[2] Adiwarman A. Karim, Ekonomi Mikro Islami (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), 30.
[3] Veithzal Rivai dan Andi Buchari, Islamic Economics: Ekonomi Syariah Bukan Opsi, Tetapi Solusi! (Jakarta: Bumi Aksara, 2009), 384-386.
[4] Adiwarman A. Karim, Ekonomi Mikro Islami, 30-31.
[5] Mohammad Aslam Haneef, Pemikiran Ekonomi Islam Kontemporer (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), 131-132.
[6] M. Nur Rianto Al-Arif, Dasar-Dasar Ekonomi Islam (Solo: Era Adicitra Intermedia, 2011), 25.
[7] Adiwarman A. Karim, Ekonomi Mikro Islami, 31-32.
[8] M. Nur Rianto Al-Arif, Dasar-Dasar Ekonomi Islam, 26.
[9] Nur Chamid, Jejak Langkah Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), 408-409.
[10] M. Nur Rianto Al-Arif, Dasar-Dasar Ekonomi Islam, 26.
[11] Ika Yunia Fauzia dan Abdul Kadir Riyadi, Prinsip Dasar Ekonomi Islam Perspektif Maqashid Al-Syari’ah, 39-40.
[12] M. Umer Chapra, Islam dan Pembangunan Ekonomi (Jakarta: Gema Insani Press, 2000), 16-17.
[13] Adiwarman A. Karim, Ekonomi Mikro Islami, 33.
[14] Nur Chamid, Jejak Langkah Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, 410-412.
[15] Ahmad Salim, “Pemikiran Ekonomi Islam Masa Timur Kuran”, Newskripsi Blog, http://newskripsi.blogspot.com, September 2013, diakses tanggal 13 Maret 2015.

0 komentar:

Post a Comment